Cari Blog Ini

Sabtu, 08 Oktober 2011

'Perkenalkan, Ini Sekolahku' Sebuah Cerpen


Beberapa hari yang lalu, aku menulis sebuah cerpen. Tadinya, aku ingin mengikutsertakan cerpen itu ke dalam sebuah lomba. Tapi karena suatu hal (aku lupa membayar uang pendaftarannya), maka cerpen itu tak jadi aku kirimkan. Berikut ini adalah cerpen yang aku maksud :

PERKENALKAN, INI SEKOLAHKU

        “Bu,aku berangkat dulu.”
        “Kok buru-buru? Ngga sarapan dulu?”
        “Ngga,sudah hampir jam tujuh nih. Assalamualaikum.”
        “Waalaikumsalam. Hati-hati...”
        Hampir setiap hari selalu begitu. Bangun pagi-pagi, bantu-bantu ibu di warung, siap-siap, lalu berangkat ke sekolah. Biasanya, aku tak perlu berangkat dengan terburu-buru. Tapi pagi ini banyak sekali yang harus aku kerjakan di warung untuk membantu Ibu. Membereskan dagangan, merapikan warung, dan masih banyak lagi. Ya, Ibu membuka sebuah warung kecil untuk ikut menopang kebutuhan ekonomi keluarga kami. Sementara, Ayah bekerja sebagai buruh di luar kota. Penghasilannya tak seberapa. Sebulan sekali beliau mengirimkan gajinya untuk membiayai hidup kami. Ayah hanya pulang sekali dalam tiga bulan.
        “Supaya Ayah bisa mengumpulkan uang yang banyak.” begitu jawaban yang kudapat ketika kutanyakan padanya kenapa Ayah jarang pulang.


        Keluarga kami memang termasuk ke dalam keluarga elit, ekonomi sulit. Tak jarang Ibu meminjam uang kepada rentenir. Apa lagi jika Ayah telat mengirimkan uang dan dompet Ibu mulai menipis. Aku hanya bisa menahan air mata ketika aku melihat Ibu menghitung-hitung daftar utangnya yang semakin panjang. Bukannya aku tak mau meringankan beban Ibu, tapi apa yang bisa aku lakukan? Prestasiku di sekolah tak bisa dibilang memuaskan. Bahkan aku pernah mencoba mengajukan beberapa beasiswa. Tapi hasilnya nihil.
        “Nilai kamu dibawah rata-rata, Don. Mustahil kamu bisa mendapatkan beasiswa itu.” begitu kata guru BP-ku pada suatu hari.
        Mungkin aku hanya bisa melakukan satu hal untuk membantu Ibu, yaitu melakukan apa yang diinginkannya, walaupun tak jarang bertentangan dengan keinginanku. Pernah pada suatu hari ketika aku masih kelas 3 SMP. Setelah lulus dari SMP, aku berencana masuk ke SMK, agar aku bisa mendapatkan keahlian dan langsung bekerja. Tapi apa kata Ibu?
        “Pokoknya, Ibu mau kamu masuk SMA, jurusan IPA.”
        Aku tahu alasan Ibu menginginkan aku sekolah di SMA. Bukan. Bukan karena aku pintar. Tapi lebih karena gengsi. Tetangga kami, Pak Burhan, berhasil menyekolahkan anaknya di jurusan IPA. Itu karena anaknya berbakat di bidang IPA. Tak seperti aku. Karena itulah aku agak terpaksa belajar. Imbasnya, nilai-nilai ulanganku tak pernah melebihi angka tujuh.
        Berbicara mengenai sekolah, Ibu memasukkanku ke sebuah SMA negeri yang terdekat dengan rumah kami. Tentu saja hal ini Ibu lakukan untuk menghemat ongkos. Namun ada satu hal yang membuatku heran ketika mendaftar ke sekolah ini. Ini adalah sebuah sekolah negeri. Artinya, semua biaya pendidikan ditanggung oleh negara, berbeda dengan sekolah swasta. Tapi, kenapa masih ada uang pangkal sebesar tiga juta rupiah? Kenapa setiap siswa harus membayar uang bulanan sebesar Rp 50.000,-? Aku hanya bisa ber-positive thinking ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Mungkin saja karena sekolah kami memiliki fasilitas komputer, atau karena sekolah kami mengadakan banyak kegiatan ekstrakurikuler.
        Sekolahku merupakan sebuah SMA yang sederhana, baik dari segi bangunan, apa lagi dari segi kualitas. Jika dilihat dari luar, sekolah ini terlihat seperti sebuah tempat yang menyenangkan dan bisa membuat para siswanya menjadi betah belajar. Dengan halaman depan yang berhiaskan beberapa pot bunga, sekolah ini bagaikan surga bagi para pencari ilmu, dan telaga bagi mereka yang haus pengetahuan.
        Dinding luarnya bercat biru muda, demikian juga dengan pagar tembok yang mengelilinginya. Ketika memasuki gerbang, sebuah lapangan akan menyambut setiap orang yang datang. Lapangan ini biasa digunakan untuk upacara pengibaran bendera setiap hari Senin. Namun lapangan ini bukanlah satu-satunya yang ada di sekolahku. Masih ada sebuah lapangan di bagian dalam. Lapangan yang berbentuk persegi panjang ini dikelilingi ruangan-ruangan kelas di keempat sisinya. Ketika pelajaran olah raga, lapangan ini digunakan oleh para siswa. Tak hanya itu, ketika jam istirahat pun lapangan ini biasa kami gunakan untuk sekedar bermain basket. Karena sering digunakan, beberapa bagian lantai lapangan ini mengalami kerusakan. Walaupun beberapa perwakilan dari siswa sudah membicarakan hal ini dengan pihak sekolah, tapi lapangan ini belum juga diperbaiki.
        Ruangan yang paling menarik perhatianku di sekolah ini adalah ruangan kepala sekolah. Di dalamnya ada sebuah piala kecil yang warnanya sudah agak kusam. Di bagian bawah piala itu tertulis ‘Juara Harapan III Lomba Baca Puisi Tingkat Kota’. Selain piala itu, ada tiga atau empat piala lain, yang keadaannya tak berbeda jauh dari piala sebelumnya, terpajang rapi di sebuah lemari kaca.
        Di depan ruang kepala sekolah adalah ruang guru. Di ruangan ini, setiap guru mempunyai mejanya masing-masing. Hanya ada dua macam benda yang biasanya memenuhi meja-meja ini, yaitu buku-buku PR dan daftar hadir siswa. Tak ada hal yang menarik di ruangan ini. Begitupun dengan para guru yang berada di dalamnya. Dari tiga puluh orang guru yang mengajar di sekolah ini, hanya ada dua orang yang menyandang gelar S2. Sisanya hanya S1. Cara mereka mengajar pun tak terlalu berbeda. Mereka hanya menjelaskan sambil duduk atau berdiri, terkadang menulis sesuatu di papan tulis, lalu memberi kami tugas untuk segera dikerjakan di kelas atau dibawa pulang ke rumah. Bahkan, ada seorang guru ilmu pasti yang mengajar dengan sangat monoton. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu bodoh, ataukah beliau yang tak bisa menjelaskan materi pelajaran. Setiap jam pelajaran selesai, sedikitpun aku tak mengerti apa yang beliau terangkan di depan kelas selama kurang lebih seratus menit.
        Ketika hari-hari pertama aku belajar di sekolah ini, aku pernah dikejutkan oleh suatu hal. Waktu itu, kami sekelas telah duduk manis di tempat masing-masing, siap menerima pelajaran. Kali ini Bahasa Indonesia. Pelajaran yang paling kusenangi karena tak terlalu sulit. Seorang bapak setengah baya yang berseragam PNS memasuki kelas kami. Wajahnya tak asing lagi bagiku.
        “Selamat pagi, Anak-anak.” sapanya.
        “Selamat pagi, Pak.” jawab kami hampir serempak.
        “Sebelum kita memulai pelajaran pertama kita, saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Sujarwo. Saya yang akan mengajar Bahasa Indonesia di kelas ini dan beberapa kelas lain. Saya lulusan S1 jurusan Sosiologi. Selain mengajar Bahasa Indonesia, saya juga mengajar Sosiologi di kelas XII IPS 1, 2, dan 3.”
        Tentu saja aku terkejut. Mana mungkin seorang lulusan dari suatu disiplin ilmu dapat mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya? Walaupun banyak orang beranggapan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia tak sesulit Matematika atau Kimia, tapi tetap saja memerlukan pengajar yang kompeten.
        Aku sempat bertanya pada diriku sendiri, apakah sekolah ini kekurangan guru yang berkualitas?
        Ya, aku memang kenal Pak Sujarwo. Beliau adalah salah satu tetangga kami. Rumahnya berada tepat di depan rumah kami. Setahuku, beliau adalah seorang guru yang bersahaja. Rumahnya, pakaiannya, gaya hidupnya, semuanya sederhana. Bagaimana tidak? Dari Ibu, aku tahu bahwa gaji yang diterima Pak Sujarwo dalam satu bulan tak lebih dari dua juta rupiah. Dengan gaji sekecil itu, aku meragukan kesejahteraan hidup beliau. Tentu saja kesejahteraan seorang guru berdampak pada kualitas mengajarnya di sekolah. Bagaimana bisa mengajar dengan baik, jika Pak Sujarwo, dan banyak guru lain di negara ini, kesejahteraan hidupnya tak tercukupi.
        Sudahlah, sebaiknya tak perlu membahas terlalu banyak tentang kesejahteraan para guru. Masih ada hal menarik lain yang ada di sekolahku. Salah satunya, tentu saja para siswa yang menghuni setiap ruang kelas. Sebuah kelas dapat menampung hingga 45 orang siswa. Sesuatu yang terlalu berlebihan, kurasa. Di dalam setiap kelas itu terdapat banyak sekali karakter, sifat, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Namun hanya satu hal yang membuat mereka terlihat sama. Prestasi. Secara umum, sekolah kami memang termasuk sekolah yang berada di bawah rata-rata dalam hal prestasi, baik akademik maupun non akademik. Sekolahku tak pernah berhasil jika mengikuti olimpiade sains atau hal-hal semacamnya. Apa lagi sampai go international dan bersaing dengan mereka yang sudah sering memenangkan medali emas.
        Pantas saja jika hal itu terjadi. Aku pernah membaca sebuah berita di koran yang digunakan Ibu untuk membungkus makanan. Di sana tertulis bahwa dari sekian ribu SMA yang ada di negeri ini, hanya ada tujuh sekolah yang kualitasnya diakui secara internasional. Tentu saja sekolahku tidak termasuk ke dalam tujuh sekolah itu.
        Tadi sudah ku ceritakan, sekolahku tak terlalu jauh dari rumah. Oleh karenanya setiap hari aku berjalan kaki, pulang pergi.
        “Sudahlah, anggap saja itu olah raga.” kata ibu ketika pada suatu hari aku mengajukan keberatanku jika setiap hari aku harus berjalan kaki ke sekolah.
        Di perjalanan, aku melihat Rudi. Dia teman sekelasku ketika masih di SMP. Dia tidak melanjutkan sekolahnya hanya karena sebuah alasan klasik, biaya. Keadaan keluarganya memang tak berbeda jauh dengan keluargaku. Ibunya seorang pembantu rumah tangga, sedangkan ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tapi, bukannya membantu meringankan beban keluarganya, setelah lulus SMP ia malah terjerumus ke dalam pergaulan yang tak baik. Berpenampilan dan berperilaku layaknya seorang preman, merokok, dan terkadang aku melihatnya sedang tak sadarkan diri di samping botol-botol minuman keras. Bahkan aku pernah mendengar desas-sesus dari teman-temanku yang lain bahwa Rudi mengkonsumsi narkoba.       Ya Tuhan, dia telah berubah 180 derajat. Tak seperti dulu ketika kami berteman.
        Sepagi ini, Rudi sudah duduk menjuntai di sebuah halte. Sebatang rokok mengepul di sela-sela jari tangan kanannya. Ketika aku melewatinya, aku berusaha tersenyum dan menyapa, tapi dia tak menjawab. Dia hanya melihat ke arahku sebentar, lalu pergi menyeberang jalan.
        Ada apa dengannya? Apakah dia malu bertemu denganku?
        Lima menit kemudian, aku sudah tiba di depan pintu gerbang sekolah. Seseorang berseragam satpam berjaga-jaga dengan wajah seperti mencemaskan sesuatu. Seorang satpam lain datang menghampirinya dengan tergesa.
        “Bagaimana?”
        “Tadi saya sudah memeriksa ke belakang sekolah, tapi tidak ada apa-apa.”
        “Loh? Tadi katamu mereka datang jam tujuh. Sekarang sudah jam tujuh.”
        “Jangan-jangan info yang saya dapatkan salah.”
        “Ya sudah, untuk berjaga-jaga, lebih baik sekarang kita mengadakan razia. Siapa tahu di antara mereka ada yang membawa senjata tajam untuk tawuran.”
        “Baiklah. Ayo!”
        Apa? Tawuran?
        Mendengar kata tawuran, nyaliku agak ciut juga. Selain takut menjadi korban, aku juga takut dimarahi Ibu.
        “Badan kurus kering begitu mau ikut tawuran? Kamu mau jadi jagoan? Kamu cuma bikin Ibu susah, tahu?” aku yakin, itulah kata-kata yang akan Ibu semburkan jika tahu aku terlibat tawuran.
        Hatiku menjadi lega ketika sampai jam pelajaran berakhir tidak terjadi apa-apa di sekolah. Tidak ada yang namanya tawuran. Aku bisa pulang dengan perasaan tenang.
        Siang ini, aku pulang seperti biasa, di waktu seperti biasa, dan melewati jalan yang biasa kulewati. Agak sepi memang. Di sebelah kanan jalan yang tak terlalu lebar ini ada sebuah rumah kosong yang dibiarkan terbengkalai. Sedangkan sebelah kiri jalan dipenuhi semak-semak tak terawat setinggi hampir satu meter.
        Aku harus mempercepat langkahku. Ibu menunggu di rumah, pikirku. Tapi tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dari sebelah kanan, dari dalam rumah kosong itu.
        “Seraaang…”
        Ketika menoleh ke arah datangnya suara itu, aku sempat melihat sebuah batu sebesar kepalan tangan melayang dengan cepat mengarah ke keningku. Karena begitu cepatnya, aku tak sempat menghindar. Lalu, “Bukk…”.
        Aku merasa kepalaku sakit sekali, pandanganku berputar lalu mengabur. Aku rubuh ke tanah. Hanya suara-suara teriakan yang kudengar. Beberapa detik kemudian aku tak sadarkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger